Suap

Anggodo Widjojo mendadak terkenal. Ia menjadi tokoh sentral setelah Mahkamah Konstitusi membuka rekaman pembicaraannya dengan sejumlah orang. Beberapa pejabat termasuk Presiden Yudhoyono disebut-sebut dalam rekaman itu.
Anggodo dan kakaknya Anggoro Widjojo (buron KPK), lahir di Jalan Karet No. 12 Surabaya, Jawa Timur. Orang tuanya bernama Ang Kwe Hwa, pengusaha yang memiliki banyak bisnis. Di kampungnya, orang lebih mengenal Anggodo dengan nama Ang Tjoe Nie (Cungek). “Saat kecil biasa dipanggil dengan Cungek. Orang-orang asli sini lebih kenal dengan nama itu daripada nama Anggodo,” ujar teman kecil Anggodo, Naksabandi (62).
Di kalangan pengusaha Surabaya, nama Anggodo dan Anggoro kurang dikenal. Namun, jika disebutkan nama Ang Tjoe Nie (Anggodo) dan Ang Tjoe Hong (Anggoro), hampir semua pengusaha senior mengenal mereka. Bahkan, mereka mengetahui dengan citra tertentu kepada duo adik kakak itu.
Kakak beradik itu banyak berkecimpung di bisnis ilegal. Seorang pengusaha yang cukup dekat dengan keduanya sejak kecil, mengatakan mereka dikenal bengal sejak kecil dan remaja. “Mereka suka berkelahi, terutama yang gemuk itu (Anggodo),” ujar pengusaha senior di Surabaya.
Salah satu bisnis yang sempat mendatangkan penghasilan melimpah bagi Anggoro dan Anggodo adalah menjadi agen SDSB yang dilegalkan pemerintah pada akhir 1980-an. “Apalagi mereka dekat dengan Roby Ketek (nama asli Rudy Sumampow, pengusaha terkaya Surabaya 1980-an),” kata dia.
Kongsi bos SDSB yang dekat dengan banyak pejabat pusat di Jakarta itu, Anggodo dan Anggoro mendapat keuntungan melimpah hingga mampu membeli kompleks perkantoran dan hiburan Studio East di kawasan Simpang Dukuh.
Namun, pada awal 1990-an, bisnis dua bersaudara itu memasuki masa suram. Sejak itu mereka tidak terdengar kiprahnya di jagat bisnis Surabaya.
Kabar keduanya baru muncul 10 tahun kemudian, saat mereka mendirikan PT Masaro Radiokom dan menjadi agen pemasaran Motorola, perusahaan telekomunikasi asal Amerika Serikat. Sejak itu mereka kembali sering muncul di pergaulan di kalangan pengusaha Surabaya.
Berdasarkan data Kartu Keluarga yang ada di catatan kependudukan, Jalan Karet 12 dihuni Ang Tjo Lee, putra dari Ang Khe Hwa (Ongko Widjojo). Ang Khe Hwa adalah ayah Anggodo dan Anggoro.
Saat terakhir datang ke rumahnya, Anggodo pernah memanggil Anas dan meminta pedagang kaki lima (PKL) liar yang mangkal persis di depan rumahnya untuk pergi. Anggodo rupanya tak ingin rumahnya tampak kumuh dengan keberadaan PKL liar.
“Sudahlah Pak, bagaimana pun caranya saya nggak mau ada PKL liar di depan rumah. Meski sifatnya tidak permanen dan tidak digunakan tempat tinggal, tapi tetap saja kumuh,” ujar Anas menirukan suara Anggodo.
Anas pun sebagai ketua RT langsung bertindak dan meminta PKL itu pergi dan mencari tempat lain. “Tapi yang punya warung nggak mau pindah, bahkan bilang ke saya kalau biar Anggodo ditemuinya sendiri,” cerita Anas yang juga ketua RW setempat itu.
Di kampung Bibis dan Jalan Karet sendiri, mayoritas warganya tidak tahu bahwa salah satu tetangganya itu kini sedang ramai dibicarakan di seluruh tanah air. Bahkan nama Anggoro Widjojo alias Tju Hong hingga kini tercatat dalam buronan KPK.
“Kalau dalam hal bermasyarakat dan terhadap orang-orang kampung, Pak Anggodo itu sangat-sangat baik. Orang sini semuanya sungkan dan orangnya low profile. Tapi kalau di kehidupan luar, kita nggak tahu dan itu privasi masing-masing. Kita nggak pernah tahu,” ucap Naksabandi.
Selain itu, di Kartu Keluarga (KK) juga ada nama Kwi Ngie Djoeng. Ada juga KK dengan alamat yang sama atas nama Foe Peh Hua, Soemiati, Soemijarti, Mailiani, Marliani. “Mereka itu keluarganya Pak Anggodo juga. Tapi saudara apanya saya juga tidak faham,” ujar Anas.
Selain menempati rumah di Jalan Karet 12, saudara-saudara Anggodo juga tinggal tidak jauh dari sana. Antara lain di Jl Bibis III No 14, 19, 20, dan 22. Namun, rumah-rumah itu kini sudah berganti pemilik setelah dijual. Ada juga sebuah rumah tingkat di Jl Stasiun 62 yang masih sering ditinggali oleh Anggodo apabila berkunjung ke Surabaya.
Tentang status rumah di Jalan Karet 12, Anas menjelaskan, itu adalah rumah Ang Khe Hwa (ayah Anggodo), pengusaha yang bergerak di bidang percetakan. Rumah itulah sekaligus dijadikan kantornya. Anas juga mengaku, biasanya putra Anggodo bernama Robert kerap mengunjungi rumah itu. Namun hanya sebentar dan jarang menginap.
Sedangkan Anggodo sempat dilihat Anas dan Naksabandi kira-kira pada awal tahun ini. “Itu pun nggak sampai sehari. Anggodo cuman mampir sebentar. Tapi kami sempat ngobrol-ngobrol sejenak. Kalau Pak Anggoro sudah lebih lima tahunan nggak ke sini,” tegas Anas dan Naksa.
Liem Ou Yen, ketua Paguyuban Masyarakat Tionghoa Surabaya, ditemui terpisah menceritakan, Anggodo pernah tinggal di Surabaya sekaligus menjadi anggota paguyuban masyarakat Tionghoa di kota ini. Namun, sejak 20 tahun silam dia sudah pindah penduduk ke Jakarta dan menjadi warga Jakarta.
Sejak kepindahannya ke Jakarta status anggota di paguyuban juga sudah putus. “Nah, sejak itu keluarga masyarakat Tiongho di Surabaya tidak mengetahui soal aktivitas Anggodo,” tuturnya.

Cicak Vs Buaya

Nama Susno Duadji saat ini kembali menjadi buah bibir di kalangan media dan masyarakat luas. nama Susno Duadji pertama di dengan dan dikenal oleh Publik berawal saat ucapanya yang membandingkan Kecanggihan teknologi Penyadapan yang dimiliki Antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Lembaga Polri dibandingkan oleh Susno Duadji Ibarat Cicak dan Buaya. Dan sejak pernyataanya tersebut, Nama Susno sering disebut-sebut oleh media dan masyarakat luas. Terlebih saat Disebutnya nama Susno Duadji pada saat diperdengarkan isi rekaman hasil penyadapan KPK terhadap Anggodo yang di perdengarkan di mahkamah Konstitusi untuk menyadap Anggodo.
Melihat betapa ramainya orang membicarakan Susno duadji ini, saya jadi ingin mengupas terkait rangkaian dan kronologis Kasus Susno Duadji ini hingga menjadi Tersangka dalam kasus Pencemaran nama baik  yang ditetapkan oleh pihak Polri beberapa hari yang lalu. Untuk lebih jelas dan detailnya, Silahkan baca rangkaian kronologis kasus Susno Duadji dibawah ini :
2 Juli 2009
Saat di wawancarai sebuah media Susno menyebut istilah Cicak Vs Buaya untuk menggambarkan antara kepolisian dan KPK sehingga menimbulkan reaksi yang sangat besar tehadap pendukung KPK saat itu.
10 Juli 2009
Susno pernah menemui Anggoro di Singapura
9 September 2009
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan berniat mengkaji ulang atas dugaan keterlibatan Susno Duadji dalam kaitanya dengan kasus Bank Century saat itu.
3 November 2009
Nama Susno Duadji disebut-sebut dalam rekaman KPK yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi yang saat itu diduga Anggodo merupakan dalang dari semuanya.
4 November 2009
Saat terbentuk Tim 8 yang dipimpin oleh Adnan Buyung Nasution meminta supaya Kapolri menonaktifkan Susnoduadji.
5 November 2009
Ternyata tanpa diduga-duga dengan sendirinya, Susno Duadji menyatakan mengundurkan diri dari Jabatan sebagai Kabareskrim Mabes Polri.
24 November 2009
Setelah mengundurkan diri tersebut, ternyata oleh Polri, Susno Duadji di copot dari Jabatanya sebagai kabareskrim
30 November 2009
Jabatan Kabareskrim yang sebelumnya dipegang Susnoduadji diserahkan kepada Irjen Ito Sumardi
7 Januari 2010
Tanpa diduga-duga sebelumnya, ternyata Susnoduadji dijadikan Saksi dalam kasus pembunuhan yang melibatkan Antasari Azhar sebagai terdakwa dalam pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen.
20 Januari 2010
Susno Duadji diperiksa oleh Pansus Bank Century dalam kaitan Kasus Bang Century. Dokumen Testimoni Susno Duadji juga beredar.
15 Maret 2010
Susno Duadji mengungkap adanya dugaan makelar kasus di tubuh Polri yang melibatkan petinggi Polri dan juga melibatkan Ditjen Pajak Gayus Tambunan dan sekarnag sering disebut sebagai Kasus Makelar kasus yang merugikan negara senilai Rp 25 Miliar
18 Maret 2010
Susno Duadji dipanggil oleh Polri terkait pemberitaan dia di Media. Tapi saat itu Susno Duadji tidak hadir.
19 Maret 2010
Polri merespond tuduhan Susno Duadji melalui Konfrensi Pers dan menyatakan akan mempidanakan tuduhan Susno Duadji atas dasar pencemaran nama baik institusi Polri.
22 Maret 2010
Setelah mangkir dari panggilan Polri pada hari sebelumnya. Susno Duadji akhirnya datang menerima panggilan Polri untuk diperiksa.
23 Mareet 2010
Susno Duadji ditetapkan sebagai tersangka Pencemaran nama baik Polri yang di sampaikan  oleh pihak  Polri  melalui Kadiv Humas  Polri Irjen Pol Edward Aritonang.
Dari rangkaian kronologis tersebut diatas menimbulkan banyak dugaan dikalangan masyarakat bahwa sikap Susno Duadji yang saat ini terlihat “Blak-blakan” membuka aib Polri berawal dari kekecewaan Susno Duadji yang di copot dari Jabatanya yang saat itu menjabat sebagai Kabareskrim.
Dan beberapa hari yang lalu ternyata salah seorang petinggi Polri menuduh balik bahwa Susno Duadji dulu juga pernah menerima cek suap dari seorang pengacara. Namun petinggi polri tersebut tidak mau menyebutkan siapa pengacara tersebut dan mungkin akan mengungkapnya di pengadilan nanti jika dibutuhkan.
Namun apapun latar belakang dari sikap Susno Duadji ini, yang  harus dilakukan oleh pihak berwenang dalam hal ini KPK, Polri dan Kejaksaan harus menangani kasus ini secara cerdas dan se=Oyektif mungkin, karena saat ini media bersama masyarakat akan selalu mengawasi perkembangan jasus ini. Dan nantinya jika terbukti salah baik pihak Susno Duadji atau Pihak Polri atau mungkin justrui nkedua-duanya bersalah, maka mereka Wajib di tindak tegas dengan ketentuan hukum yang berlaku.


 Komjen Pol Drs. Susno Duadji, S.H, M.Sc. (lahir di Pagar Alam, Sumatera Selatan, 1 Juli 1954; umur 55 tahun) adalah mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri (Kabareskrim Polri) yang menjabat sejak 24 Oktober 2008 hingga 24 November 2009. Sebelumnya, ia menjabat sebagai Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Kapolda Jawa Barat.

Susno Duadji merupakan lulusan Akabri Kepolisian dan mengenyam berbagai pendidikan antara lain PTIK, S-1 Hukum, S-2 Manajemen, dan Sespati Polri. Ia juga mendapat kursus dan pelatihan di antaranya Senior Investigator of Crime Course (1988), Hostage Negotiation Course (Antiteror) di Universitas Louisiana AS (2000), Studi Perbandingan Sistem Kriminal di Kuala Lumpur Malaysia (2001), Studi Perbandingan Sistem Polisi di Seoul, Korea Selatan (2003), serta Training Anti Money Laundering Counterpart di Washington, DC, AS.

Susno adalah anak kedua dari delapan bersaudara. Ayahnya bernama Duadji, seorang sopir, dan ibunya, Siti Amah seorang pedagang kecil. Ia adalah suami dari Herawati dan bapak dari dua orang putri.

Mafia Peradilan


Nama jaksa Cirus Sinaga begitu sakti. Saking saktinya, nama itu hanya sebatas disebut-sebut dalam ruang sidang. Tangan aparat penegak hukum seakan kelu dan kaku untuk menjamah pemilik nama sakti itu.

Tidak hanya sekali dua kali nama Cirus disebut. Para saksi menyebut peran jaksa Cirus dengan nada lantang. Padahal bukan sembarang saksi yang menyebut peran jaksa Cirus dalam kasus mafia hukum. Mereka adalah penegak hukum yang tergelincir dalam kasus Gayus. Sebut saja kesaksian Komisaris M Arafat Enanie, Ajun Komisaris Sri Sumartini, dan beberapa lainnya, terakhir Brigadir Jenderal Raja Erizman.

Tidak hanya saksi. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga menyebut peran jaksa Cirus ketika membacakan putusan terdakwa Komisaris Arafat Enanie, Senin (20/9).

Dalam ruang sidang itu disebutkan secara terang benderang bahwa jaksa Cirus diduga ikut merekayasa pengenaan pasal tindak pidana terhadap Gayus, dari semula kasus pencucian uang dan korupsi menjadi penggelapan.

Pasal penggelapan itulah pintu masuk jaksa Cirus untuk ikut menangani kasus Gayus. Jika menggunakan pasal pencucian uang dan korupsi, kasus itu harus ditangani jaksa bidang pidana khusus, sementara Cirus bekerja di bidang pidana umum.

Akhirnya pasal korupsi dan pencucian uang benar-benar dihilangkan. Yang tercantum dalam berkas penuntutan jaksa tinggal pasal penggelapan uang.

Berbekal pasal itulah jaksa Nasran Azis di Pengadilan Negeri Tangerang hanya menuntut Gayus dihukum satu tahun penjara dengan satu tahun masa percobaan. Dalam menjawab dakwaan ringan itu, majelis hakim yang diketuai Muhtadi Asnun malah mengganjar Gayus dengan vonis bebas.

Jadi, sangat jelas sekali dugaan keterlibatan jaksa Cirus. Selaku jaksa senior ia memegang peran sentral dalam permainan kasus Gayus. Sejauh yang terungkap di ruang sidang, jaksa Cirus telah berhasil menyusun skenario, menjadi sutradara, sekaligus ikut bermain dalam sirkus mafia hukum.

Sangat jelas pula adanya permufakatan jahat. Para punggawa hukum--polisi, jaksa, hakim, dan pengacara--berlaku tak ubahnya pagar makan tanaman. Dengan entengnya mereka mengubah pasal, meringankan dakwaan, dan membagi-bagi duit hasil kejahatan.

Akan tetapi, yang sakti hanyalah jaksa Cirus, yang hingga kini bebas melenggang. Namanya sempat disebut-sebut sebagai tersangka, tetapi secepat membalikkan telapak tangan status hukum itu berubah menjadi saksi. Lebih ironis lagi, kepolisian dan kejaksaan malah saling lempar tanggung jawab siapa yang harus menindaklanjuti kesaksian mengenai keterlibatan Cirus itu. Atau, jangan-jangan, Cirus tidak bisa disentuh karena berada dalam lindungan mafia hukum?

Mafia Pajak

Nama Gayus Halomoan P.Tambunan saat ini sedang meroket dan juga menyebabkan kontroversi. bagaimana mungkin seorang PNS golongan III A bisa memiliki rekening 25milyar?? Gayus Tambunan merupakan salah satu naman yang disebut-sebut oleh mantan kabareskrm susno duaji ini, seperti halnya profil marzuki alie yang juga kontroversial karena kasus penutupan sidang paripurna yang katanya sepihak, akan tetapi si gayus ini sensasional karena kekayaanya, menurut kabar terakhir kabarnya gayus halomoan kini kabur menuju ke singapura namun kabarnya dia pergi untuk berobat entah benar atau tidak. jika kita lihat rumah mewahnya di daerah kelapa gading rasanya tidak mungkin lah seorang PNS golongan III A bisa membeli rumah disana yang rata rata berharga di atas 1,4Miliar.

Profil Gayus Halomoan P. Tambunan dimana dia sebagai pegawai negri sipil III-A, Gayus, sehari-hari cuma menjadi penelaah keberatan pajak (banding) perorangan dan badan hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak dengan Usianya baru 30 tahun. Tapi, dia bisa disebut salahsatu pegawai negeri terkaya di Indonesia. Tabunganya Rp 25 miliar.
Pekerjaan itulah yang membuat dia "sakti". Saat namanya disebut oleh mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Susno Duadji orang pun geger. Sepak terjangnya diduga terkait makelar kasus. Susno menyebutkan Gayus memilikiRp 25 miliar di rekeningnya, namun hanya Rp 395 juta yang dijadikan pidana dan disita negara. Sisanya Rp 24,6 miliar menguap entah ke mana.

Susno menuduh ada empat petinggi Polri yang terlibat pencairan itu. Mereka adalah Brigadir Jenderal EI dan RE serta sejumlah perwira di Mabes Polri terlibat manipulasi pengusutan pajak. Menurut dia, barang bukti senilai hampirRp 24,6 miliar dicairkan tanpa prosedur yang wajar. Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim Mabes Polri Brigadir Jenderal Raja Erizman membantah tudingan Susno. Menurut dia, pencairan itu sudah sah.

Uang Rp 24,6 miliar itu juga disebut-sebut mengalir ke pengusaha Andi Kosasih. Dia adalah pengusaha terkenal di Batam. Dia terkenal sebagai pengusaha garmen dan kabarnyajuga punya pelabuhan. Kawan-kawannya mengenal dia dekat dengan pemerintah setempat.

Gayus, menurut jaksa yang mengadilinya, Cyrus Sinaga, bertemu dengan Andi Kosasih di pesawat. "Pada 2002 pernah satu pesawat dengan Gayus, kemudian berteman dan bersangkutan mengadakan perjanjian investasi pengelolaan ruko dalam wilayah DKI Jakarta," kata Andi.

Dalam kasus pajak ini Gayus dituntut kepolisian dengan tiga pasal, yakni pasal penggelapan, pencucian uang, dan korupsi. Nah, di sinilah "kesaktian" Gayusyang menurut Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum janggal. Dia persidangan dia hanya dituntut dengan pasal penggelapan. Hakim memvonisnya dengan hukuman 1 tahun percobaan. Belakangan dia dibebaskan.

Satuan Tugas mencium tiga kejanggalan pengadilan Gayus. Pertama, soal ancaman hukuman, yang ternyata jauh lebih ringan dari ketentuan undang-undang. Dalam undang-undang disebutkan, pelaku tindak pidana pencucian uang mestinya dihukum paling sedikit 5 tahun penjara dan paling lama 15 tahun penjara dengan dendaRp 100 juta atau maksimal denda Rp 15 miliar. Majelis hakim hanya menghukum satu tahun percobaan. Artinya, Gayus bebas. Hebat bukan?

Keanehan lainnya, biasanya di Pengadilan Negeri Tangerang setiap Jumat tidak digelar persidangan pidana atau perdata, yang ada hanya sidang tilang. Vonis Gayus dijatuhkan pada hari Jumat.

Keanehan ketiga, jaksa hanya menuntut Gayus dengan pasal penggelapan. Menurut Satuan Tugas, terdakwa diduga melakukan pencucian uang dan korupsi.

"Kesaktian" Gayus juga terlihat dalam soal tabungan Rp 25 miliar. Jamaknya, gaji Pegawai Negeri Sipil golongan IIIA di Direktorat Pajak dengan masa jabatan 0 sampai 10 tahun adalah antaraRp 1.655.800 sampai Rp 1.869.300 per bulan. Kalaupun ada tambahan maka itu berupa tunjangan lain.

Sejak kasus ini merebak, Gayus langsung dicopot. Dia kini hanya menjadi pegawai pajak biasa. Menteri Kuangan Sri Mulyani berjanjiakan mengusut kasus Gayus. "Jika bersalah pasti akan ditindak," katanya. Susno Duadji sendiri hakkul yakin ada praktek makelar kasus dalam dalam kasus pajak Gayus Tambunan.